Translate PLEASE!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 28 Desember 2011

PSIKOTROPIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1997
TENTANG
PSIKOTROPIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam
suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib, dan dinamis dalam lingkungan pergaulan
dunia yang merdeka, adil, bersahabat, dan damai;
b. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, perlu dilakukan upaya secara
berkelanjutan di segala bidang, antara lain pembangunan kesejahteraan rakyat, termasuk kesehatan,
dengan memberikan perhatian terhadap pelayanan kesehatan, dalam hal ini ketersediaan dan pencegahan
penyalahgunaan obat serta pemberantasan peredaran gelap, khususnya psikotropika;

c. bahwa psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
ilmu pengetahuan, maka ketersediaannya perlu dijamin;
d. bahwa penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa,
sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional;
e. bahwa makin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan tekno-logi, transportasi, komunikasi, dan
informasi telah mengakibat-kan gejala meningkatnya peredaran gelap psikotropika yang makin meluas
serta berdimensi internasional;
f. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut di atas, di-pandang perlu menetapkan Undangundang
tentang Psiko-tropika;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances
1971 (Konvensi Psikotropika 1971) (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3657);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PSIKOTROPIKA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
2. Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk melakukan
kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika.
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengo-lah, membuat, menghasilkan, mengemas,
dan/atau mengubah bentuk psikotropika.
4. Kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
psikotropika, baik yang ber-sentuhan langsung maupun tidak.
5. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika,
baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan.
6. Perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau
penjualan, termasuk penawar-an untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan
pemindahtanganan psikotropika dengan memp eroleh imbalan.
7. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk
melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan
psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun, dalam
rangka produksi dan peredaran.
9. Dokumen pengangkutan adalah surat jalan dan/atau faktur yang memuat keterangan tentang identitas
pengirim, dan penerima, bentuk, jenis, dan jumlah psikotropika yang diangkut.
10. Transito adalah pengangkutan psikotropika di wilayah Republik Indonesia dengan atau tanpa berganti
sarana angkutan antara dua negara lintas.
11. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan psikotropika, baik antar-penyerah maupun kepada
pengguna dalam rangka pelayanan kesehatan.
12. Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus atau yang salah
satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan/atau menggunakan psikotro-pika dalam penelitian,
pengembangan, pendidikan, atau pengajaran dan telah mendapat persetujuan dari Menteri dalam rangka
kepentingan ilmu pengetahuan.
13. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan.
14. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala kegiatan
yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
(2) Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) digo-longkan menjadi :
a. psikotropika golongan I;
b. psikotropika golongan II;
c. psikotropika golongan III;
d. psikotropika golongan IV.
(3) Jenis -jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, psikotropika
golongan IV sebagai-mana dimaksud pada ayat (2) untuk pertama kali ditetapkan dan dilampirkan dalam
undang-undang ini, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan jenis -jenis psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika
Pasal 4
(1) Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu
pengetahuan.
(2) Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan.
(3) Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika golongan I dinyatakan sebagai
barang terlarang.
BAB III
PRODUKSI
Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi.
Pasal 7
Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
BAB IV
PEREDARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 9
(1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(1) (2). Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat.
Pasal 10
Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen
pengangkutan psikotropika.
Pasal 11
Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 12
(1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat
dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah.
(2) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh :
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek, sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah, puskesmas dan
balai pengobatan Pemerintah.
(3) Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan.
Pasal 13
Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat
dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor secara
langsung oleh lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat
dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari
apotek.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan penyerahan psikotropika diatur oleh Menteri.
BAB V
EKSPOR DAN IMPOR
Bagian Pertama
Surat Persetujuan Ekspor dan
Surat Persetujuan Impor
Pasal 16
(1) Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah
memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Impor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah
memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
serta lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
(3) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang untuk
mengedarkan psikotropika yang diimpornya.
Pasal 17
(1) Eksportir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) harus memiliki surat persetujuan
ekspor untuk setiap kali melakukan kegiatan ekspor psikotropika.
(2) Importir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) harus memiliki surat persetujuan
impor untuk setiap kali melakukan kegiatan impor psikotropika.
(3) Surat persetujuan impor psikotropika golongan I hanya dapat diberikan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
Pasal 18
(1) Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika, eksportir
atau importir sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Menteri.
(2) Permohonan secara tertulis untuk memperoleh surat persetujuan ekspor psikotropika dilampiri dengan
surat persetujuan impor psikotropika yang telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh
pemerintah negara pengimpor psikotropika.
(3) Menteri menetapkan persyaratan yang wajib dicantumkan dalam permohonan tertulis untuk memperoleh
surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika.
Pasal 19
Bagian Kedua Menteri menyampaikan salinan surat persetujuan impor psikotropika kepada pemerintah
negara pengekspor psikotropika
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur oleh Menteri.
Pengangkutan
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan ekspor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor
psikotropika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Setiap pengangkutan impor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor psikotropika
yang dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor.
Pasal 22
(1) Eksportir psikotropika wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat
persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor kepada orang yang bertanggung
jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat
persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor psikotropika dari peme-rintah
negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib membawa dan bertanggung jawab atas
kelengkapan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor
psikotropika dari pemerintah negara pengimpor.
(4) Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang mema-suki wilayah Republik Indonesia wajib
membawa dan bertang-gung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor psikotro-pika dari Menteri
dan surat persetujuan ekspor psikotropika dari pemerintah negara pengekspor.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 23
(1) Setiap transito psikotropika harus dilengkapi surat persetujuan ekspor psikotropika yang terlebih
dahulu telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor
psikotropika.
(2) Surat persetujuan ekspor psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat keterangan tentang :
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor psikotropika;
b. jenis, bentuk dan jumlah psikotropika; dan
c. negara tujuan ekspor psikotropika.
Pasal 24
Setiap perubahan negara tujuan ekspor psikotropika pada transito psikotropika hanya dapat dilakukan
setelah adanya persetujuan dari:
a. pemerintah negara pengekspor psikotropika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor psikotro-pika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor psikotropika.
Pasal 25
Pengemasan kembali psikotropika di dalam gudang penyimpanan atau sarana angkutan pada transito
psikotropika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli psikotropika yang mengalami kerusakan dan
harus dilakukan di bawah pengawasan dari pejabat yang berwenang.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan transito psiko-tropika ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 27
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen ekspor, imp or, dan/atau transito
psikotropika.
Pasal 28
(1) Importir psikotropika memeriksa psikotropika yang diimpornya, dan wajib melaporkan hasilnya kepada
Menteri, yang dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya impor psikotropika di
perusahaaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil
penerimaan impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB VI
LABEL DAN IKLAN
Pasal 29
(1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan psikotro-pika.
(2) Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotro-pika yang dapat berbentuk tulisan,
kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam
kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
Pasal 30
(1) Setiap tulisan berupa keterangan yang dicantumkan pada label psikotropika harus lengkap dan tidak
menyesatkan.
(2) Menteri menetapkan persyaratan dan/atau keterangan yang wajib atau dilarang dicantumkan pada label
psikotropika.
Pasal 31
(1) Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah
farmasi.
(2) Persyaratan materi iklan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB VII
KEBUTUHAN TAHUNAN DAN PELAPORAN
Pasal 32
Menteri menyusun rencana kebutuhan psikotropika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan untuk setiap tahun.
Pasal 33
(1) Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib
membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan
psikotropika.
(2) Menteri melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan
catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 34
Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara
berkala.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyusunan rencana kebutuhan tahunan psikotropika dan
mengenai pelaporan kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGGUNA PSIKOTROPIKA DAN REHABILITASI
Pasal 36
(1) Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika untuk
digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa
psikotropika yang dimiliki, disim-pan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam
pengobatan dan/atau pera-watan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas
rehabilitasi.
Pasal 38
Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk
memulihkan dan/atau mengem-bangkan kemampuan fisik, mental, dan sosialnya.
Pasal 39
(1) Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dilaksanakan pada
fasilitas rehabilitasi yang di-selenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabi-litasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana di-maksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rehabilitasi dan perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Pemilikan psikotropika dalam jumlah tertentu oleh wisatawan asing atau warga negara asing yang memasuki
wilayah negara Indonesia dapat dilakukan sepanjang digunakan hanya untuk pengobatan dan/atau
kepentingan pribadi dan yang bersangkutan harus mempunyai bukti bahwa psikotropika berupa obat
dimaksud diperoleh secara sah.
Pasal 41
Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di
bidang psikotropika dapat diperin-tahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani
pengobatan dan/ atau perawatan.
BAB IX
PEMANTAUAN PREKURSOR
Pasal 42
Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana psikotropika
ditetapkan sebagai barang di bawah pemantauan Pemerintah.
Pasal 43
Menteri menetapkan zat atau bahan prekursor dan alat-alat sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 42.
Pasal 44
Tata cara penggunaan dan pemantauan prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 45
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika.
Pasal 46
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diarahkan untuk :
a. terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan/atau
bahaya atas terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
d. memberantas peredaran gelap psikotropika;
e. mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dalam kegiatan
penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika; dan
f. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang
psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.
Pasal 47
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang psikotropika
sesuai dengan kepentingan nasional.
Pasal 48
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah
berjasa dalam membantu pencegahan penyalahgunaan psikotropika dan/atau mengungkapkan peristiwa
tindak pidana di bidang psikotropika.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pembinaan segala kegiatan yang berhubungan dengan
psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 50
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika,
baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.
(2) Dalam rangka pengawasan, Pemerintah berwenang :
a. melaksanakan pemeriksaan setempat dan/atau pengambilan contoh pada sarana produksi,
penyaluran, pengangkutan, penyimpanan, sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas rehabilitasi;
b. memeriksa surat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan di bidang psikotropika;
c. melakukan pengamanan terhadap psikotropika yang tidak memenuhi standar dan persyaratan; dan
d. melaksanakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan surat tugas.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas
rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 52
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, bentuk pelanggaran dan penerapan sanksinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh
Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PEMUSNAHAN
Pasal 53
(1) Pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :
a. berhubungan dengan tindak pidana;
b. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan
dalam proses produksi psikotropika;
c. kadaluwarsa;
d. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan
ilmu pengetahuan.
(2) Pemusnahan psikotropika sebagaimana dimaksud :
a. pada ayat (1) butir a dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari pejabat yang mewakili departemen
yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan
Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan ditambah pejabat dari instansi
terkait dengan tempat terungkapnya tindak pidana tersebut, dalam waktu tujuh hari setelah
mendapat kekuatan hukum tetap;
b. pada ayat (1) butir a, khusus golongan I, wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
dilakukan penyitaan; dan
c. pada ayat (1) butir b, butir c, dan butir d dilakukan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang
bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran psikotropika, sarana kesehatan tertentu, serta
lembaga pendidikan dan/atau lembaga peneliti-an dengan disaksikan oleh pejabat departemen yang
bertang-gung jawab di bidang kesehatan, dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah mendapat kepastian
sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut.
(3) Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemusnahan psikotropika dite-tapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 54
(1) Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk ber-peran serta dalam membantu
mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika
yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.
(3) Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan
dari pihak yang berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat seba-gaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYIDIKAN
Pasal 55
Selain yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209), penyidik polisi negara
Republik Indonesia dapat :
a. melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pemb elian terselubung;
b. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam
penyidikan;
c. menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika lainnya yang dilakukan
oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak
pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 56
(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana seba-gaimana diatur dalam
undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta kete-rangan tentang tindak pidana di bidang
psikotropika;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melaku-kan tindak pidana di bidang
psikotropika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak
pidana di bidang psikotro-pika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang psikotropika;
e. melakukan penyimpanan dan pengamanan terhadap barang bukti yang disita dalam perkara tindak
pidana di bidang psikotropika;
f. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
psikotropika;
g. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang
dalam penyidikan;
h. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
psikotropika;
i. menetapkan saat dimulainya dan dihentikannya penyidikan.
(3) Hal-hal yang belum diatur dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku, terutama mengenai tata cara penyidikan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
(1) Di depan pengadilan, saksi dan/atau orang lain dalam perkara psikotropika yang sedang dalam
pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat
terungkapnya identitas pelapor.
(2) Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi peringatan terlebih dahulu
kepada saksi dan/atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana psikotro-pika, untuk
tidak menyebut identitas pelapor, sebagaimana di-maksud pada ayat (1).
Pasal 58
Perkara psikotropika, termasuk perkara yang lebih didahulukan dari-pada perkara lain untuk diajukan ke
pengadilan guna pemeriksaan dan penyelesaian secepatnya.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 59
(1) Barangsiapa :
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ; atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ke-tentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I.dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku tindak
pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2),
Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14
ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan.
Pasal 61
(1) Barangsiapa :
a. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, atau
b. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan
impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
c. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat
persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
atau Pasal 22 ayat (4); dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang bertanggung jawab atas
pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 63
(1) Barangsiapa:
a. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10; atau
b. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24; atau
c. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Barangsiapa :
a. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ; atau
b. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau
c. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1);
atau
d. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 64
Barangsiapa :
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan dan/atau
perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pi-dana denda paling
banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 67
(1) Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan telah selesai menjalani
hukuman pidana dengan putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai-mana diatur
dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran keluar wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat kembali ke Indonesia setelah jangka
waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.
Pasal 68
Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah kejahatan.
Pasal 69
Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana diatur dalam undangundang
ini dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan.
Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal
64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan
pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat
dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
Pasal 71
(1) Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh turut
melakukan, mengan-jurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 dipidana sebagai permufakatan jahat.
(2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah sepertiga pidana
yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 72
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak
pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana
tersebut.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 73
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur psikotropika masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 74
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 10
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1997
TENTANG
PSIKOTROPIKA
UMUM
Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional diarah-kan guna tercapainya
kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal, yang di-lakukan melalui berbagai upaya kesehatan, diantaranya
penyelenggaraan pelayan-an kesehatan kepada masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut, psikotropika memegang peranan penting. Disamping
itu, psikotropika juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan meliputi penelitian, pengembangan,
pendidikan, dan pengajaran sehingga ketersediaannya perlu dijamin melalui kegiatan produksi dan impor.
Penyalahgunaan psikotropika dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak
di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Hal ini tidak saja merugikan bagi penyalahguna, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi, dan keamanan
nasional, sehingga hal ini merupakan ancaman bagi kehidupan bangsa dan negara.
Penyalahgunaan psikotropika mendorong adanya peredaran gelap, sedangkan peredaran gelap psikotropika
menyebabkan meningkatnya penyalahgunaan yang makin meluas dan berdimensi internasional. Oleh karena
itu, diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan psikotropika dan upaya pemberantasan
peredaran gelap. Di samping itu, upaya pemberantasan peredaran gelap psikotropika terlebih dalam
era globalisasi komunikasi, informasi, dan transpor-tasi sekarang ini sangat diperlukan.
Dalam hubungan ini dunia internasional telah mengambil langkah-langkah untuk mengawasi psikotropika
melalui :
1. Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971), dan
2. Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988).
Konvensi ini membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifi-kasinya untuk
melakukan kerjasama dalam penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap
psikotropika, baik secara bilateral maupun multilateral.
Sehubungan dengan itu, diperlukan suatu upaya untuk mengendalikan seluruh kegiatan yang berhubungan
dengan psikotropika melalui perundangan-undangan di bidang psikotropika. Undang-undang ini mengatur
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang berada di bawah pengawasan internasional, yaitu
yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan dan digolongkan menjadi :
a. Psikotropika golongan I;
b. Psikotropika golongan II;
c. Psikotropika golongan III;
d. Psikotropika golongan IV.
Penggolongan ini sejalan dengan Konvensi Psikotropika 1971, sedangkan psikotro-pika yang tidak termasuk
golongan I, golongan II, golongan III, dan golongan IV pengaturannya tunduk pada ketentuan perundangundangan
di bidang obat keras. Pelaksanaan Undang-undang tentang Psikotropika tetap harus
memperhatikan ber-bagai ketentuan perundang-undangan yang berkaitan, antara lain Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
Demikian juga dalam pelaksanaan penyelenggaraannya harus tetap berlandaskan pada asas keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, asas manfaat, keseimbangan, dan keselarasan dalam peri
kehidupan serta tatanan hukum dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Undang-undang Psikotropika ini mengatur : produksi, peredaran, penyaluran, penyerahan, ekspor dan
impor, pengangkutan, transito, pemeriksaan, label dan iklan, kebutuhan tahunan dan pelaporan, pengguna
psikotropika dan rehabilitasi, pemantauan prekursor, pembinaan dan pengawasan, pemusnahan, peran serta
masyarakat, penyidikan dan ketentuan pidana.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika adalah seluruh aktivitas kegiatan yang dimulai dari
kegiatan atau proses produksi sampai dengan penyerahan psikotropika, termasuk pemusnahannya.
Yang diatur dalam undang-undang ini hanyalah psikotropika yang mem-punyai potensi mengakibatkan
sindroma ketergantungan. Mengingat akibat yang dapat ditimbulkan oleh psikotropika, khususnya yang
mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila disalahgunakan untuk maksud selain
pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan, maka diperlukan suatu perangkat hukum untuk
mengendalikan psikotropika secara khusus.
Selain itu, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Psikotropika 1971. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban
memperlakukan dan mengendalikan psikotropika secara khusus sesuai dengan konvensi tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan :
a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobat-an dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu penge-tahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobat-an dan banyak digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobat-an dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
Sekalipun pengaturan psikotropika dalam Undang-undang ini hanya meli-puti psikotropika golongan I,
psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, dan psikotropika golongan IV, masih terdapat
psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi
digolongkan sebagai obat keras. Oleh karena itu, pengaturan, pembinaan, dan pengawasannya tunduk
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat keras.
Ayat (3)
Jenis -jenis psikotropika yang terlampir dalam Undang-undang ini telah di-sesuaikan dengan perkembangan
terakhir dari kesepakatan internasional yang dituangkan dalam daftar penggolongan psikotropika yang
dikeluarkan oleh badan internasional di bidang psikotropika. Khusus untuk Tetrahydro cannabinol dan
derivatnya, dalam Convention on Psychotropic Substances 1971 beserta daftar yang dikeluarkan badan
internasional dimasukkan dalam psikotropika golongan I dan golongan II. Namun, dalam Undang-undang ini
telah dikeluarkan karena sesuai dengan tatanan hukum yang ada zat tersebut merupakan salah satu jenis
narkotika.
Ayat (4)
Menteri dalam menetapkan perubahan jenis -jenis psikotropika menyesuai-kan dengan daftar perubahan
psikotropika yang dikeluarkan oleh badan internasional di bidang psikotropika dan selalu memperhatikan
kepentingan nasional dalam pelayanan kesehatan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penyalahgunaan atau dalam pengertian lain disebut penggunaan secara merugikan adalah penggunaan
psikotropika tanpa pengawasan dokter.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam rangka penelitian, psikotropika golongan I dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat
terbatas dan dilaksanakan oleh orang yang diberi wewenang khusus untuk itu oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Farmakope Indonesia adalah buku standar teknis yang memuat standar dan/atau persyaratan mutu yang
berlaku bagi setiap obat dan bahan obat yang digunakan di Indonesia.
Yang dimaksud dengan buku standar lainnya dalam pasal ini adalah buku farmakope yang dikeluarkan oleh
negara lain atau badan internasional yang digunakan sebagai acuan dalam standar dan/atau persyaratan
mutu obat yang mencakup pemerian (spesifikasi), kemurnian, pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Hal ini
dilakukan apabila belum atau tidak terdapat dalam farmakope Indonesia.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Dokumen pengangkutan tersebut dibuat oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah atau apotek yang mengirimkan psikotropika tersebut.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Penyaluran psikotropika yang dilakukan pabrik obat, pedagang besar farmasi dan sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah dilakukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau kepentingan ilmu
pengetahuan.
Yang dimaksud dengan sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah adalah sarana yang mengelola
sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,
ABRI dan BUMN dalam rangka pelayanan kesehatan.
Ayat (2)
Rumah sakit yang telah memiliki instalasai farmasi memperoleh psikotro-pika dari pabrik obat atau pedagang
besar farmasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter, dilakukan
untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Ayat (2)
Rumah sakit yang belum memiliki instalasi farmasi, hanya dapat memper-oleh psikotropika dari apotek.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penyerahan psikotropika oleh dokter di daerah terpencil memerlukan surat izin menyimpan obat, dari Menteri
atau pejabat yang diberi wewenang. Izin tersebut melekat pada surat keputusan penempatan di daerah
terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1) dan ayat (2)
Pelaksanaan ekspor atau impor psikotropika tunduk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Surat persetujuan ekspor dari Menteri berisi keterangan tertulis mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah
psikotropika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir di negara pengimpor,
jangka waktu pelaksanaan ekspor dan keterangan bahwa ekspor tersebut untuk kepenting-an pengobatan
dan/atau ilmu pengetahuan. Surat Persetujuan Impor dari Menteri berisi keterangan tertulis mengenai nama,
jenis, bentuk dan jumlah psikotropika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir
di negara pengekspor, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut untuk
kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat pabean dan pejabat kesehatan.
Pengemasan kembali yang dilakukan, harus dibuatkan berita acara.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Batas waktu tujuh hari kerja tersebut dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika
diserahkan secara langsung.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Pada prinsipnya iklan psikotropika, termasuk yang terselubung, dilarang. Larangan ini dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat terhadap penyalahgunaan psikotropika atau penggunaan psikotropika yang
merugikan.
Brosur dan pameran ilmiah yang dimaksudkan sebagai sarana informasi bagi tenaga kesehatan untuk
meningkatkan pengetahuan dalam rangka pelayanan kesehatan tidak termasuk dalam pengertian iklan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Dokter yang melakukan praktik pribadi dan/atau pada sarana kesehatan yang memberikan pelayanan medis,
wajib membuat catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika, dan disimpan sesuai
dengan ketentuan masa simpan resep, yaitu tiga tahun.
Catatan mengenai psikotropika di badan usaha sebagaimana diatur pada ayat ini disimpan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dokumen pelaporan mengenai psikotropika yang berada di
bawah kewenangan departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, disimpan, sekurangkurangnya
dalam waktu tiga tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengguna psikotropika pada ayat ini adalah pasien yang menggunakan psikotropika
untuk pengobatan sesuai dengan jumlah psikotropika yang diberikan oleh dokter.
Ayat (2)
Apabila diperlukan dalam rangka pembuktian tentang perolehan psikotropika dapat diberikan copy (salinan)
resep atau surat keterangan dokter kepada pasien yang bersangkutan. Bagi yang bepergian ke luar negeri
agar membawa surat keterangan dokter.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Fasilitas rehabilitasi antara lain rumah sakit, lembaga ketergantungan obat dan praktik dokter.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pelayanan kesehatan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan medis dan sosial agar pengguna psiko-tropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat
mencapai kemampu-an fungsional semaksimal mungkin.
Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan dan pengem-bangan baik fisik, mental, maupun
sosial agar pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dapat melaksanakan fungsi
sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 40
Yang dimaksud dengan psikotropika dalam jumlah tertentu pada ayat ini adalah jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan pengobatan dan/atau perawatan bagi wisatawan asing atau warga negara asing tersebut,
dikaitkan dengan jangka waktu tinggal di Indonesia paling lama dua bulan, dan harus dibuktikan dengan
copy (salinan) resep dan/atau surat keterangan dokter yang bersangkutan. Surat keterangan dokter harus
dengan tegas mencantumkan jumlah penggunaan psikotropika setiap hari.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Yang dimaksud dengan prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan
dalam pembuatan psikotropika.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Dalam rangka pemberantasan peredaran gelap psikotropika, termasuk terhadap sindikasi kriminal
internasional, Pemerintah dapat melaksanakan pembinaan dan kerjasama, baik multilateral, maupun bilateral
melalui badan-badan internasio-nal, dengan memperhatikan kepentingan nasional.
Pasal 48
Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, uang, dan/atau bentuk penghargaan lainnya.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Surat tugas hanya berlaku untuk satu kali tugas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 55
Pelaksanaan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung serta
penyadapan pembicaraan melalui telepon dan/atau alat-alat telekomunikasi elektronika lainnya hanya dapat
dilakukan atas perintah tertulis Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang
ditunjuknya.
Pasal 56
Ayat (1)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud meliputi :
a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan;
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Departemen Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen terkait lainnya.
Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen tersebut diberikan oleh Undang-undang ini pada
bidang tugasnya masing-masing.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "orang lain" adalah jaksa, pengacara, panitera, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3671
Kutipan : MEDIA ELEKTRONIK SEKRETARIAT NEGARA TAHUN 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar