PERBANDINGAN
AKTIVITAS ANTIBAKTERI LENDIR BEKICOT DAN ISOLAT PROTEIN LENDIR
BEKICOT (Achatina fulicha) TERHADAP
BAKTERI
Staphyloccus aureus
Candra
Bayu Setyawan
Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang
ABSTRAK
Lendir bekicot secara empiris telah digunakan sebagai
obat jerawat namun belum pernah diuji secara ilmiah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbandingan aktivitas lendir bekicot dan isolate
lendir bekicot terhadap salah satu bakteri penyebab infeksi jerawat (Staphylococcus aureus). Objek yang
digunakan adalah lendir bekicot dan bakteri Staphylococcus
aureus. Metode pengujian antibakteri
menggunakan difusi cakram, data penelitian dianalisa menggunakan ANOVA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa isolat protein lendir bekicot memiliki aktivitas lebih besar
daripada lendir bekicot dan berbeda nyata berdasarkan uji ANOVA . Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan efektivitas antibakteri
isolat protein lendir bekicot.
PENDAHULUAN
Jerawat merupakan masalah umum yang
menyebabkan kurangnya kepercayaan diri dan sebagian besar masyarakat, sehingga perlu diatasi supaya tidak
merusak penampilan. Menurut (Wasitaadmadja,
1997) jerawat disebabkan oleh perubahan jumlah dan konsistensi lemak
kelenjar akibat pengaruh berbagai faktor penyebab, yaitu: hormonal, infeksi
bakteri, makanan, penggunaan obat-obatan dan psikososial. (Mitsui,
1997), menyatakan bahwa jerawat karena infeksi bakteri dapat disebabkan
oleh Staphylococcus aureus.
Lendir bekicot dapat digunakan sebagai obat infeksi jerawat karena mengandung suatu senyawa
yang disebut protein achasin. Menurut (Berniyanti, 2007) protein achasin memiliki daya anti bakteri yang bekerja
dengan cara menghambat pembentukan peptidoglikan
dan sitoplasma. Protein tersebut dapat diperoleh dengan cara isolasi dari
lendir bekicot. Melalui proses tersebut maka dapat dihasilkan protein achasin
yang terpisah dari komponen lendir yang lain sehingga diharapkan memiliki
aktivitas anti bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan lendir bekicot.
Enzim lipase yang dihasilkan dari
bakteri tersebut menguraikan trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas,
yang menyebabkan inflamasi dan akhirnya terbentuk jerawat Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus
aureus dapat menimbulkan infeksi sekunder pada jerawat, infeksi akan
bertambah parah jika jerawat sudah bernanah
(Mitsui, 1997).
Aktivitas antibakteri lendir
bekicot terhadap Staphylococcus aureus yang
merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi jerawat, belum diketahui sehingga
perlu dilakukan penelitian tentang pengujian aktivitas antibakteri antara aktivitas antibakteri lendir bekicot dan isolat protein lendir bekicot terhadap
bakteri Staphylococcus aureus. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan
metode difusi cakram.
Berdasarkan hasil dari penelitian
ini, apabila terdapat aktivitas antibakteri baik lendir bekicot maupun isolat
protein lendir terhadap bakteri Staphylococcus aureus, maka
diharapkan dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan aktif dalam sediaan
antijerawat.
METODE PENELITIAN
Untuk mengetahui perbandingan
aktivitas lendir bekiot dan isolat protein lendir bekicot terhadap salah satu
bakteri penyebab infeksi jerawat yaitu Staphylococcus aureus. Menggunakan
metode eksperimental dengan cara difusi cakram. Difusi cakram merupakan metode yang
umum digunakan untuk mengetahui aktivitas anti bakteri.
ALAT
Alat yang
digunakan dalam penelitian yaitu glassware, penyaring bakteri,
jarum oase, spektrofotometri, autoklaf,
sentrifus, bunsen,
inkubator, mikroskop, kertas cakram.
BAHAN
Bahan yang
digunakan dalam penelitian yaitu aquadest, lendir bekicot media NA, alkohol, bakteri Staphylococcus aureus, tris Cl, ethanol.
TAHAP PENELITIAN
Tahapan yang akan dilakukan didalam
pelaksanaan penelitian yaitu pertama determinasi bekicot.
Isolasi protein lendir bekicot dengan cara maserasi
menggunakan air dan prespitasi menggunakan ethanol 96%. Metode pengujian
aktivitas antibakteri dengan difusi cakram dengan metode pourplate dan
diinkubasi selama 2x24 jam pada suhu 37 oC. Data hasil penelitian dianalisa
dengan ANOVA.
HASIL
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa lendir bekicot memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus hal ini ditunjukkan
dengan adanya zona bening disekitar kertas cakram yang ditanam, zona bening
merupakan adanya respon
penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri.
Gambar
4.2 A. Zona bening pengujian lendir bekicot; B. Zona bening pengujian isolat
lendir bekicot
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui perbandingan aktivitas lendir bekicot dan isolat protein
lendir bekicot terhadap salah satu bakteri penyebab infeksi jerawat yaitu Staphylococcus aureus. Pada penelitian
ini digunakan bekicot dari daerah Blitar yang memiliki cirri-ciri memiliki
cangkang tidak begitu mencolok dan bentuk cangkang cenderung meruncing, berat
badan antara 150 sampai 200 gram dengan ukuran antara 90 sampai 130 mm, jumlah
telur antara 100 sampai 300 butir dengan masa bertelur antara tiga sampai empat
kali setahun.
Berdasrkan hasil determinasi maka diketahui bahwa bekicot yang digunakan
merupakan spesies Achatina fulica.
Lendir
bekicot mengandung suatu senyawa yang disebut protein achasin. Menurut (Berniyanti, 2007), protein achasin memiliki daya anti bakteri yang bekerja
dengan cara menghambat pembentukan peptidoglikan
dan sitoplasma. Lendir bekicot didapat dengan cara memecah cangkang bagian
belakang bekicot, Sebelum memulai proses metode isolasi lendir bekicot,
terlebih dahulu melakukan metode maserasi terhadap lendir bekicot. Metode
maserasi ini adalah metode yang sangat sederhana, yakni dengan merendam bahan
dengan cairan penyari yang sesuai.
Bekicot
yang diperoleh disortir sebanyak 30 buah buah dipilih yang tekstur cangkangnya
utuh dengan berat kurang lebih 170gram, selanjutnya cangkang bagian belakang
bekicot dipecahkan karena lendir banyak terdapat pada bagian cangkang belakang,
tetapi pada setiap bekicot jumlah lendir yang dikeluarkan berbeda-beda. Hal
tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti usia
tingkat stress serta makanan bekicot. Dari 30 ekor bekicot diperoleh 80ml
lendir bekicot, dan setelah dimaserasi dan isolasi diperoleh isolat protein
lendir sebanyak 62gram.
Lendir
dan isolate protein lendir kemudian digunakan untuk uji aktifitas antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus dengan
metode difusi cakram.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui terdapat zona bening disekitar
cakram yang menunjukkan adanya aktivitas antibakteri baik dari lendir maupun
isolate protein lendir. Semakin luas zona bening maka aktivitasnya semakin
besar. Hal ini disebabkan karena
kadar protein achasin yang terdapat dalam isolat lebih banyak dibandingkan
lendir bekicot sehingga aktivitas antibakterinya juga lebih tinggi hal ini
didukung berdasarkan uji ANOVA diketahui bahwa diameter zona bening tersebut
berbeda nyata. Hasil pengamatan diameter zona bening dapat dilihat pada table
Berdasarkan tabel diatas ditunjukkan bahwa zona bening isolat lendir
bekicot lebih besar daripada lendir yang diujikan secara langsung. Oleh karena
itu penggunaan isolate lendir bekicot lebih bagus daipada penggunaan lendir
bekicot secara langsung.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lendir bekicot dan
isolate protein lendir memiliki aktivitas antibakteri yang berbeda nyata
terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
UCAPAN
TERIMA KASIH
Rasa terimakasih dipersembahkan kepada dosen pembimbing beserta seluruh
civitas akademi Farmasi Putra Indonesia Malang, atas partisipasinya sehingga
penelitian ini bisa dilaksanakan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Afrianto, Eddy, 2008, Pengawasan Mutu
Bahan/Produk Pangan, Departemen Pendidikan
Nasional, Jakarta.
2.
Anonim. 1986. Dasar-Dasar
Mikrobiologi.Jakarta;Universitas Indonesia (UI- Press).
3.
Anonim.1993. Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara
4.
Anonim,1994, Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran, Edisi Revisi, 13 dan 103-110, Binarupa Aksara,
Jakarta.
5.
Arini Desi, Devi Nurmalitasari, Natya Laksmi Putrid, Septi
Nur Indah Sari. Aktivitas Senyawa
Antimikro Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper Betle L) Dalam Peranannya Sebagai
Pengan Fungsional. Diakses Melalui http://www.scribd.com (jumat, tanggal 11
januari 2013).
6.
Dwidjoseputro, 2003. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta.
7.
Entjang, Indan. 2003.Mikrobiologi
Dan Parasitologi. Bandung;PT.Citra Aditya Bakti.
8.
Perdana putra, Lazwardy. Uji
Aktivitas Anibakteri Soyghurt Dengan Penambahan Gula Jagung Terhadab Bakteri
Escherichia Coli. Diakses melalui: http://www.scribd.com (kamis, tanggal 10
januari 2013).
- Ganiswarna, G Sulistia, Setiabudy Rianto, D. Suyatna, Purwantyastuti, Nafrialsi. 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Jawetz, Ernest., 1996, Mikrobiologi Kedokteran edisi 20, EGC, Jakarta
11.
Kusmiyati, Ni Wayan Sri Agustin. 2008. Uji Aktifitas Senyawa Antibakteri Dari Mikroalga Porphyridium Cruentum.
Diakses Melalui http://www.pdf.com (jumat, 11 januari
2013).
12. Lutfi,
Ahmad, 2004, Kimia Lingkungan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
13.
Nastiti, Rima. Sukses
Budidaya Bekicot. Yogyakarta:Pustaka Baru Press.
- Pelczar, 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Universitas Indonesia Press, Jakarta
15.
Rayandi, Adi Suryo. 2012. Meraup
Untung Besar Dari Beternak Bekicot:Enjoy Publishing.
16.
Rinawati, Nanin Dwi. Daya
Aintibakteri Tumbuhan Majapahit (Crescentia Cujete L) Terhadap Bakteri Vibrio
Alginolyticus. Diakses Melalui http://www.pdf.com (jumat, 11 januari
2013).
17.
Rusnanda, Sastra. 2001. Masa Inkubasi Bakteri Patogenik Ralstonia Solamacearum Ras 3 Pada
Beberapa Cloning Kentang.
18. Soekardjo,
Siswandono B, 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press, Jakarta.
19.
Sofiani, Yayu Srirahayu. Isolasi,
Pemurnian Dan Uji Aktifitas Antibakteri Senyawa Sinensentin Dari Ekstrak Dan
Kumis Kucing (Orthosiphonis Aristatus). Diakses Melalui http://www.pdf.com (jumat, 11 januari 2013).
20. Widjajanti,
U, Nuraini, 1996. Obat-obatan. Kanisus, Yogyakarta.
21.
Wilson & Gisvold, 1982. Buku Teks Wilson dan Gisvold
Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. IKIP Semarang Press, Semarang.