Translate PLEASE!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 17 Juli 2013

Artikel perbandingan aktivitas lendir dan isolat protein lendir bekicot





PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI LENDIR BEKICOT DAN ISOLAT PROTEIN LENDIR BEKICOT (Achatina fulicha) TERHADAP
BAKTERI  Staphyloccus aureus


Candra Bayu Setyawan

Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang



ABSTRAK
Lendir bekicot secara empiris telah digunakan sebagai obat jerawat namun belum pernah diuji secara ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan aktivitas lendir bekicot dan isolate lendir bekicot terhadap salah satu bakteri penyebab infeksi jerawat (Staphylococcus aureus). Objek yang digunakan adalah lendir bekicot dan bakteri Staphylococcus aureus. Metode pengujian antibakteri menggunakan difusi cakram, data penelitian dianalisa menggunakan ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat protein lendir bekicot memiliki aktivitas lebih besar daripada lendir bekicot dan berbeda nyata berdasarkan uji ANOVA . Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan efektivitas antibakteri isolat protein lendir bekicot.




PENDAHULUAN
Jerawat merupakan masalah umum yang menyebabkan kurangnya kepercayaan diri dan sebagian besar masyarakat, sehingga perlu diatasi supaya tidak merusak penampilan. Menurut (Wasitaadmadja, 1997) jerawat disebabkan oleh perubahan jumlah dan konsistensi lemak kelenjar akibat pengaruh berbagai faktor penyebab, yaitu: hormonal, infeksi bakteri, makanan, penggunaan obat-obatan dan psikososial. (Mitsui, 1997), menyatakan bahwa jerawat karena infeksi bakteri dapat disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Lendir bekicot dapat digunakan sebagai obat infeksi jerawat karena mengandung suatu senyawa yang disebut protein achasin. Menurut (Berniyanti, 2007) protein achasin memiliki daya anti bakteri yang bekerja dengan cara menghambat pembentukan peptidoglikan dan sitoplasma. Protein tersebut dapat diperoleh dengan cara isolasi dari lendir bekicot. Melalui proses tersebut maka dapat dihasilkan protein achasin yang terpisah dari komponen lendir yang lain sehingga diharapkan memiliki aktivitas anti bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan lendir bekicot.
            Enzim lipase yang dihasilkan dari bakteri tersebut menguraikan trigliserida pada sebum menjadi asam lemak bebas, yang menyebabkan inflamasi dan akhirnya terbentuk jerawat  Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus dapat menimbulkan infeksi sekunder pada jerawat, infeksi akan bertambah parah jika jerawat sudah bernanah (Mitsui, 1997).
            Aktivitas antibakteri lendir bekicot terhadap Staphylococcus aureus yang merupakan salah satu bakteri penyebab infeksi jerawat, belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengujian aktivitas antibakteri antara aktivitas antibakteri lendir bekicot dan isolat protein lendir bekicot terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi cakram.
            Berdasarkan hasil dari penelitian ini, apabila terdapat aktivitas antibakteri baik lendir bekicot maupun isolat protein lendir terhadap bakteri Staphylococcus aureus, maka diharapkan dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai bahan aktif dalam sediaan antijerawat.

METODE PENELITIAN
            Untuk mengetahui perbandingan aktivitas lendir bekiot dan isolat protein lendir bekicot terhadap salah satu bakteri penyebab infeksi jerawat yaitu Staphylococcus aureus. Menggunakan metode eksperimental dengan cara difusi cakram. Difusi cakram merupakan metode yang umum digunakan untuk mengetahui aktivitas anti bakteri.

ALAT
Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu glassware, penyaring bakteri, jarum oase, spektrofotometri, autoklaf, sentrifus, bunsen, inkubator, mikroskop, kertas cakram.

BAHAN
Bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu aquadest, lendir bekicot media NA, alkohol, bakteri Staphylococcus aureus, tris Cl, ethanol.

TAHAP PENELITIAN
            Tahapan yang akan dilakukan didalam pelaksanaan penelitian yaitu pertama determinasi bekicot. Isolasi protein lendir bekicot dengan cara maserasi menggunakan air dan prespitasi menggunakan ethanol 96%. Metode pengujian aktivitas antibakteri dengan difusi cakram dengan metode pourplate dan diinkubasi selama 2x24 jam pada suhu 37 oC. Data hasil penelitian dianalisa dengan ANOVA.

HASIL
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lendir bekicot memiliki daya antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus hal ini ditunjukkan dengan adanya zona bening disekitar kertas cakram yang ditanam, zona bening merupakan adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri.
   

   
Gambar 4.2 A. Zona bening pengujian lendir bekicot; B. Zona bening pengujian isolat lendir bekicot
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan aktivitas lendir bekicot dan isolat protein lendir bekicot terhadap salah satu bakteri penyebab infeksi jerawat yaitu Staphylococcus aureus. Pada penelitian ini digunakan bekicot dari daerah Blitar yang memiliki cirri-ciri memiliki cangkang tidak begitu mencolok dan bentuk cangkang cenderung meruncing, berat badan antara 150 sampai 200 gram dengan ukuran antara 90 sampai 130 mm, jumlah telur antara 100 sampai 300 butir dengan masa bertelur antara tiga sampai empat kali setahun. Berdasrkan hasil determinasi maka diketahui bahwa bekicot yang digunakan merupakan spesies Achatina fulica.
Lendir bekicot mengandung suatu senyawa yang disebut protein achasin. Menurut (Berniyanti, 2007), protein achasin memiliki daya anti bakteri yang bekerja dengan cara menghambat pembentukan peptidoglikan dan sitoplasma. Lendir bekicot didapat dengan cara memecah cangkang bagian belakang bekicot, Sebelum memulai proses metode isolasi lendir bekicot, terlebih dahulu melakukan metode maserasi terhadap lendir bekicot. Metode maserasi ini adalah metode yang sangat sederhana, yakni dengan merendam bahan dengan cairan penyari yang sesuai. 
            Bekicot yang diperoleh disortir sebanyak 30 buah buah dipilih yang tekstur cangkangnya utuh dengan berat kurang lebih 170gram, selanjutnya cangkang bagian belakang bekicot dipecahkan karena lendir banyak terdapat pada bagian cangkang belakang, tetapi pada setiap bekicot jumlah lendir yang dikeluarkan berbeda-beda. Hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti usia tingkat stress serta makanan bekicot. Dari 30 ekor bekicot diperoleh 80ml lendir bekicot, dan setelah dimaserasi dan isolasi diperoleh isolat protein lendir sebanyak 62gram.
Lendir dan isolate protein lendir kemudian digunakan untuk uji aktifitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan metode difusi cakram.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui terdapat zona bening disekitar cakram yang menunjukkan adanya aktivitas antibakteri baik dari lendir maupun isolate protein lendir. Semakin luas zona bening maka aktivitasnya semakin besar. Hal ini disebabkan karena kadar protein achasin yang terdapat dalam isolat lebih banyak dibandingkan lendir bekicot sehingga aktivitas antibakterinya juga lebih tinggi hal ini didukung berdasarkan uji ANOVA diketahui bahwa diameter zona bening tersebut berbeda nyata. Hasil pengamatan diameter zona bening dapat dilihat pada table

Berdasarkan tabel diatas ditunjukkan bahwa zona bening isolat lendir bekicot lebih besar daripada lendir yang diujikan secara langsung. Oleh karena itu penggunaan isolate lendir bekicot lebih bagus daipada penggunaan lendir bekicot secara langsung.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lendir bekicot dan isolate protein lendir memiliki aktivitas antibakteri yang berbeda nyata terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

UCAPAN TERIMA KASIH
            Rasa terimakasih dipersembahkan kepada dosen pembimbing beserta seluruh civitas akademi Farmasi Putra Indonesia Malang, atas partisipasinya sehingga penelitian ini bisa dilaksanakan dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Afrianto, Eddy, 2008, Pengawasan Mutu Bahan/Produk Pangan, Departemen      Pendidikan Nasional, Jakarta.
2.      Anonim. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi.Jakarta;Universitas Indonesia (UI-         Press).
3.      Anonim.1993. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara
4.      Anonim,1994, Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran, Edisi Revisi, 13 dan 103-110, Binarupa Aksara, Jakarta.
5.      Arini Desi, Devi Nurmalitasari, Natya Laksmi Putrid, Septi Nur Indah Sari. Aktivitas Senyawa Antimikro Ekstrak Daun Sirih Hijau (Piper Betle L) Dalam Peranannya Sebagai Pengan Fungsional. Diakses Melalui http://www.scribd.com (jumat, tanggal 11 januari 2013).
6.      Dwidjoseputro, 2003. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta.
7.      Entjang, Indan. 2003.Mikrobiologi Dan Parasitologi. Bandung;PT.Citra Aditya Bakti.
8.      Perdana putra, Lazwardy. Uji Aktivitas Anibakteri Soyghurt Dengan Penambahan Gula Jagung Terhadab Bakteri Escherichia Coli. Diakses melalui: http://www.scribd.com (kamis, tanggal 10 januari 2013).
  1. Ganiswarna, G Sulistia, Setiabudy Rianto, D. Suyatna, Purwantyastuti, Nafrialsi. 1995. Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
  2. Jawetz, Ernest., 1996, Mikrobiologi Kedokteran edisi 20, EGC, Jakarta
11.  Kusmiyati, Ni Wayan Sri Agustin. 2008. Uji Aktifitas Senyawa Antibakteri Dari Mikroalga Porphyridium Cruentum. Diakses Melalui http://www.pdf.com (jumat, 11 januari 2013).
12.  Lutfi, Ahmad, 2004, Kimia Lingkungan, Departemen Pendidikan Nasional,           Jakarta.
13.  Nastiti, Rima. Sukses Budidaya Bekicot. Yogyakarta:Pustaka Baru Press.
  1. Pelczar, 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Universitas Indonesia Press, Jakarta
15.  Rayandi, Adi Suryo. 2012. Meraup Untung Besar Dari Beternak Bekicot:Enjoy Publishing.
16.  Rinawati, Nanin Dwi. Daya Aintibakteri Tumbuhan Majapahit (Crescentia Cujete L) Terhadap Bakteri Vibrio Alginolyticus. Diakses Melalui http://www.pdf.com (jumat, 11 januari 2013).
17.  Rusnanda, Sastra. 2001. Masa Inkubasi Bakteri Patogenik Ralstonia Solamacearum Ras 3 Pada Beberapa Cloning Kentang.
18.  Soekardjo, Siswandono B, 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press,      Jakarta.
19.  Sofiani, Yayu Srirahayu. Isolasi, Pemurnian Dan Uji Aktifitas Antibakteri Senyawa Sinensentin Dari Ekstrak Dan Kumis Kucing (Orthosiphonis Aristatus). Diakses Melalui http://www.pdf.com (jumat, 11 januari 2013).
20.  Widjajanti, U, Nuraini, 1996. Obat-obatan. Kanisus, Yogyakarta.
21.     Wilson & Gisvold, 1982. Buku Teks Wilson dan Gisvold Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. IKIP Semarang Press, Semarang.